Fayiz Musa Abu Syaikhah
Pertanyaan: Ketika seseorang meninggal, orang-orang membacakan Al-Qur'an dengan pengeras suara di rumah duka, dan ketika mayat itu dibawa oleh mobil jenazah, mereka memasangkan pengeras suara, dengan demikian orang yang mendengar bacaan Al-Qur'an itu mengetahui bahwa di sana ada kematian, akibatnya seolah merasa sial karena mendengar bacaan Al-Qur'an, dan akibat lain-nya, Al-Qur'an itu tidak dibuka kecuali ketika ada seseorang yang meninggal. Apa hukum perbuatan ini, dan bagaimana menyampaikan nasehat kepada orang-orang yang semacam itu?
Jawaban: Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini bid'ah, karena tidak pernah dilakukan pada masa Nabi صلی الله عليه وسلم, dan tidak pula pada masa para sahabat beliau. Sesungguhnya Al-Qur'an itu bisa menawar kedukaan jika dibaca seperti biasa, tidak dengan menggunakan pengeras suara. Lain dari itu, berkumpulnya keluarga si mayat untuk menyambut orang-orang yang mengucapkan bela sungkawa, tidak pernah dikenal. Bahkan sebagian ulama menyatakannya sebagai perbuatan bid'ah. Karena itu kami tidak menganjurkan keluarga si mayat berkumpul untuk menerima ucapan bela sungkawa, tapi hendaknya menutup pintu mereka. Tapi jika ada seseorang yang berjumpa di pasar, umpamanya, atau kebetulan ada seorang kenalan yang datang berkunjung lalu mengucapkan bela sungkawa, maka hal ini tidak apa-apa.
Adapun sengaja menyambut orang-orang, hal ini tidak pernah dikenal pada masa Nabi صلی الله عليه وسلم, bahkan para sahabat meng-anggap bahwa berkumpulnya keluarga si mayat dan membuat makanan termasuk meratapi kematian, padahal meratapi kematian itu termasuk perbuatan berdosa besar, karena Nabi صلی الله عليه وسلم telah melarang orang yang meratapi mayat dan memperdengarkan ratapannya, beliau bersabda,
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَاٍن وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
"Wanita yang meratapi kematian, jika ia tidak bertaubat sebelum kematiannya, maka pada Hari Kiamat nanti ia akan diberdirikan sementara di atasnya besi panas dan baju koreng." [1]
Kita memohon kepada Allah akan dijauhkan dari hal ini.
Nasehat saya untuk saudara-saudara saya, hendaknya meninggalkan perkara-perkara baru ini, karena meninggalkannya lebih utama di sisi Allah dan lebih utama bagi si mayat itu sendiri, sebab Nabi صلی الله عليه وسلم telah mengabarkan, bahwa mayat itu disiksa karena tangisan dan ratapan keluarganya terhadap kematiannya. Maksudnya 'disiksa' ini adalah menderita kesakitan akibat tangisan dan ratapan tersebut, tapi tidak disiksa seperti siksaan bagi pelakunya, Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Dan orang-orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Fathir: 18).
Siksaan yang dimaksud dalam hadits tadi bukan balasan, dalam sebuah hadits Nabi صلی الله عليه وسلم menyebutkan, اَلسَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ "Perjalanan (safar) adalah bagian dari adzab." [2]
Yakni bahwa penderitaan, kedukaan dan sejenisnya dikategorikan adzab. Contoh kalimat yang biasa dilontarkan, 'Aku diadzab oleh perasaanku sendiri.'
Kesimpulannya, saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku, untuk menjauhi kebiasaan-kebiasaan tersebut yang hanya menambah jauhnya diri dari Allah dan menambah penderitaan bagi yang meninggal.
Footnote: [1] Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Masajid (nomor 934). [2] Bagian dari hadits yang keluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-'Umrah (nomor 1804). Muslim dalam Al-Imarah (nomor 1927). Rujukan: Fatawa Al-Fauzan, Nur 'ala Ad-Darb, juz 2, disusun oleh Fayiz Musa Abu Syaikhah. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.
0 komentar:
Post a Comment